Advertise Box

Setiap Ruas

Kalau saya boleh memilih, saya tentu akan lebih suka menjelajah Jakarta dengan mobil pribadi. Alasannya klise : nyaman, sejuk, damai, dan aman. Terlebih suasana dan cuaca Jakarta begitu keras. Tapi setiap perjalanan dengan kendaraan umum selalu membawa cerita berbeda. Selalu ada hal yang baru tiap hari, entah supir baru atau kenek baru, penumpangnya, suasananya. Wajarlah ya, namanya juga fasilitas umum. 

Selama kurang lebih enam tahun, saya berkutat dengan puluhan penumpang lain yang menumpang hidup pada bis yang sama, ratusan orang lain yang berdesakan di kereta yang sama, dan beberapa manusia lain yang duduk menerawang keluar sementara angkot yang kami tumpangi terus melaju menembus hujan.

Semestinya bukan menjadi suatu rekreasi ketika harus berdiri di bis yang penuh sesak atau kereta yang terlalu penuh hingga bernapas saja sulit. Tapi, entahlah, setiap perjalanan selalu memberikan inspirasi di balik cerita dan tingkah laku pemerannya. Tiap orang dengan latar belakang yang berbeda namun menggantung hidup pada satu supir atau masinis yang sama. It inspires me in such weird way. 


Kadang rekreasi itu bertambah ketika pengamen jalanan mulai memetik gitar, membersihkan pita suara dan bernyanyi. Jangan tanya kualitas mereka. Tidak sedikit yang berbakat, bahkan piawai menggesek biola atau meniup harmonika. Ada yang menyanyikan tembang lawas dengan suara dibuat-buat mirip Ebiet G. Ade. Lainnya menyanyikan berbagai genre musik masa kini. Mulai dari brit pop hingga pop melayu. Dari Nidji hingga Kangen Band.

Lucunya, saya tidak bisa semena-mena menyuruh mereka berhenti bersenandung. Saya tidak bisa seenaknya bertindak. Mau tidak mau saya harus mendengar suara fals mereka tidak peduli betapa buruknya suasana hati saya hari itu. Mau tidak mau saya harus menahan kantuk karena takut tersesat. Mau tidak mau saya harus bertoleransi dengan penumpang lain dan kegiatan mereka. Entah ibu-ibu baru pulang dari pasar dan tidur sembarangan atau mbak-mbak ABG yang curhat dengan temannya tentang pacarnya yang selingkuh.

Semua itu hanya segaris cerita tentang jalanan. Buat saya, jalanan seperti miniatur. Miniatur kerasnya hidup di ibukota Jakarta. Saya tidak memungkiri betapa saya ingin berjuang agar tidak selamanya menumpang fasilitas umum. Saya juga tidak menolak kalau orang tua saya meminjamkan kunci mobil untuk saya. Namun, saya tahu bahwa saya akan rindu dan kehilangan sesuatu. Ya, jalanan dan dinamikanya...
Related Posts Plugin for WordPress, Blogger...

Followers